Senin, 12 Maret 2012

SEJARAH KEDOKTERAN ISLAM

Pendahuluan
 “Ilmu kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,'' ujar Dr Ezzat Abouleish MD dalam tulisannya berjudul Contributions of Islam to Medicine.[1] Studi kedokteran yang berkembang pesat di era modern ini merupakan puncak dari usaha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak ribuan tahun silam. Begitu pentingnya, ilmu kedokteran selalu diwariskan dari generasi ke generasi dan bangsa ke bangsa. Cikal bakal ilmu medis sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah peradaban kuno, seperti Mesir, Yunani, Roma, Persia, India, serta Cina sudah mulai mengembangkan dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara sederhana.
Tapi peradaban keilmuan, khususnya dalam bidang kedokteran yang dicapai oleh bangsa-bangsa itu akhirnya bergeser. Zaman pertengahan, peradaban ada ditangan Islam, dimana Ilmu pengetahuan mendapat perhatian penuh. Tidak terkecuali ilmu kedokteran, ketika penerjemahan dilakukan secara besar-besaran. Dari kegiatan itu, dapat dikatakan kejayaan Islam dalam keilmuan dimulai. Inilah zaman menuju keemasan Islam, yang dalam dunia politik kekhalifahan dipegang oleh bani Abbasiyyah.
Kontribusi peradaban Islam dalam dunia kedokteran sungguh sangat tak ternilai. Di era keemasannya, peradaban Islam telah melahirkan sederet pemikir dan dokter terkemukan yang telah meletakkan dasar-dasar ilmu kedokteran modern. Dunia Islam juga tercatat sebagai peradaban pertama yang mempunyai Rumah Sakit dan dikelola oleh tokoh-tokoh professional. Dunia kedokteran Islam di zaman kekhalifahan meninggalkan banyak karya yang menjadi literatur keilmuan Dunia.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, topik tentang perkembangan Ilmu kedokteran di dunia Islam sangat penting untuk dikaji. Khazanah keilmuan Islam terbentang luas di berbagai penjuru Dunia. Dimana itu menjadi dasar kegiatan keilmuan akademis dan praktek pengobatan lembaga-lembaga rumah sakit sampai sekarang. Dalam makalah ini, penulis tidak bermaksud untuk membicarakan keagungan Islam zama itu, tapi tiada lain supaya menjadi pemacu keingintahuan dalam keilmuan. Sehingga dapat meningkatkan semangat para akademis dalam penelitian maupun kegitan keilmuan lainnya.
Maka, dalam rangka memenuhi tujuan penulisan di atas, penulis akan mencoba memaparkan bagaimana perkembangan ilmu kedokteran dalam dunia Islam. Baik dalam ilmu medis atau institusi-institusi terkait. Siapa tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam bidang ini? Bagaimana karya-karyanya? Dan kontribusinya terhadap Dunia Ilmu kedokteran. Tapi sebelumnya, perlu ditelusuri lebih dahulu awal sejarah perkembangan keilmuan ini.
BAB II
Sejarah Perkembangan Ilmu Kedokteran
  1. Awal Perkembangan Sebelum Islam
Seperti ungkapan Dr. Ezzat Abouleist di statemen awal pendahuluan, “Ilmu kedokteran tidak lahir dalam waktu semalam”. Keilmuan yang berkembang dan praktek-prakteknya tidak tanpa mula. Tapi mempunyai sejarah panjang yang dihasilkan para pendahulu hingga hasilnya dapat dilihat saat ini. Awal mula kelahirannya dimulai pada masa peradaban Yunani. Dan bangsa-bangsa lain sekitar pada masa itu.
Dalam peradaban Yunani, orang Yunani Kuno mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan. Pada era ini, menurut penulis Canterbury Tales, Geoffrey Chaucer, di Yunani telah muncul beberapa dokter atau tabib terkemuka. Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi mengembangkan ilmu kedokteran adalah Hippocrates atau `Ypocras' (5-4 SM). Dia adalah tabib Yunani yang menulis dasar-dasar pengobatan.
Selain itu, ada juga nama Rufus of Ephesus (1 M) di Asia Minor. Ia adalah dokter yang berhasil menyusun lebih dari 60 risalah ilmu kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal Dioscorides. Dia adalah penulis risalah pokok-pokok kedokteran yang menjadi dasar pembentukan farmasi selama beberapa abad. Dokter asal Yunani lainnya yang paling berpengaruh adalah Galen (2 M). Ketika era kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam yang telah berkembang pesat di Timur Tengah, menurut Ezzat Abouleish, seperti halnya lmu-ilmu yang lain.
  1. Pada Masa Peradaban Islam
1. Masa Awal
Perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode pasang-surut. Periode pertama dimulai dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Pada masa ini, sarjana dari Syiria dan Persia secara gemilang dan jujur menerjemahkan litelatur dari Yunani dan Syiria kedalam bahasa Arab.
Rujukan pertama kedokteran terpelajar dibawah kekuasaan khalifah dinasti Umayyah, yang memperkerjakan dokter ahli dalam tradisi Helenistik. Pada abad ke-8 sejumlah keluarga dinasti Umayyah diceritakan memerintahkan penterjemahan teks medis dan kimiawi dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Berbagai sumber juga menunjukkan bahwa khalifah dinasti Umayyah, Umar ibn Abdul Aziz (p.717-20) memerintahkan penterjemhan dari bahasa Siria ke bahasa Arab sebuah buku pegangan medis abad ketujuh yang ditulis oleh pangeran Aleksandria Ahrun.
Pengalihbahasaan literatur medis meningkat drastis dibawah kekuasaan Khalifah Al-Ma'mun dari Diansti Abbasiyah di Baghdad. Para dokter dari Nestoria dari kota Gundishpur dipekerjakan dalam kegiatan ini. Sejumlah sarjana Islam pun terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh seperti, Yuhanna Ibn Masawayah (w. 857), Jurjis Ibn-Bakhtisliu, serta Hunain Ibn Ishak (808-873 M) ikut menerjemahkan literatur kuno dan dokter masa awal.
Karya-karya original ditulis dalam bahasa Arab oleh Hunayn. Beberapa risalah yang ditulisnya, diantaranya al-Masail fi al-Tibb lil-Mutaallimin (masalah kedokteran bagi para pelajar) dan Kitab al-Asyr Maqalat fi al-Ayn (sepuluh risalah tentang mata).  Karya tersebut berpengaruh dan sangat inovatif, walaupun  sangat sedikit memaparkan observasi baru. Karya yang paling terkenal dalam periode awal ini disusun oleh Ali Ibn Sahl Rabban al-Tabari (783-858), Firdaws al-Hikmah. Dengan mengadopsi satu pendekatan kritis yang memungkinkan pembaca memilih dari beragam praktek, karya ini merupakan karya kedokteran Arab komprehensif pertama yang mengintegrasikan dan memuat berbagai tradisi kedokteran waktu itu.
Perkembangan tradisi dan keberagaman yang nampak pada kedokteran Arab pertama, dikatan John dapat dilacak sampai pada warisan Helenistik. Dari pada khazanah kedokteran India. walaupun keilmuan kedokteran India kurang terlalu mendapat perhatian, tidak menafikan adanya sumber dan praktek berharga yang dapat dipelajari. Warisan ilmiah Yunani menjadi dominan, khususnya helenistik, John Esposito mengatakan “satu kesadaran atas (perlunya) lebih dari satu tradisi mendorong untuk pendekatan kritis dan selektif “. Seperti dalam sains Arab awal.
2. Masa Kejayaan
Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah RS (RS) besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru. Tak heran, bila penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis baru. Era kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang. `'Islam banyak memberi kontribusi pada pengembangan ilmu kedokteran,'' papar Ezzat Abouleish.
Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon. Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat dengan nama Razes. Ia pernah menjadi dokter istana Pangerang Abu Saleh Al-Mansur, penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Buku kedokteran yang dihasilkannya berjudul “Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis) dan “Al-Hawi”.
Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal di Barat Abulcasis. Dia adalah ahli bedah terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universitas Cordoba. Dia menjadi dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman III. Sebagain besar hidupnya didedikasikan untuk menulis buku-buku kedokteran dan khususnya masalah bedah.
Salah satu dari empat buku kedokteran yang ditulisnya berjudul, 'Al-Tastif Liman Ajiz'an Al-Ta'lif' - ensiklopedia ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa hingga abad ke-17. Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan. Dia juga menggunakan alkohol dan lilin untuk mengentikan pendarahan dari tengkorak selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi juga menulis buku tentang tentang operasi gigi.
Dokter Muslim yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M). Salah satu kitab kedokteran fenomela yang berhasil ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al- Tibb atau Canon of Medicine. Kitab itu menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi satu juta kata. Hingga abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah kedokteran di Eropa.
Tokoh kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M). Dokter kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa. Kontribusinya dalam dunia kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul 'Al- Kulliyat fi Al-Tibb' (Colliyet). Buku itu berisi rangkuman ilmu kedokteran. Buku kedokteran lainnya berjudul 'Al-Taisir' mengupas praktik-praktik kedokteran.
Nama dokter Muslim lainnya yang termasyhur adalah Ibnu El-Nafis (1208 - 1288 M). Ia terlahir di awal era meredupnya perkembangan kedokteran Islam. Ibnu El-Nafis sempat menjadi kepala RS Al-Mansuri di Kairo. Sejumlah buku kedokteran ditulisnya, salahsatunya yang tekenal adalah 'Mujaz Al-Qanun'. Buku itu berisi kritik dan penambahan atas kitab yang ditulis Ibnu Sina. Beberapa nama dokter Muslim terkemuka yang juga mengembangkan ilmu kedokteran antara lain; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang dokter yang terkemuka di Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M; dan Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi tumbuh-tumbuhan dari Spanyol dan Afrika.
Setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami masa stagnasi. Perlahan kemudian surut dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era kejayaan Islam di abad pertengahan. sampai disini, penulis tidak akan menjelaskan nasib Ilmu kedokteran masa kemunduran Islam. Karena sudah jelas Peradaban Islam mengalami kematian. Oleh karena itu, dalam sub-bab selanjutnya penulis akan terus menulusuri warisan-warisan peradaban Islam berkaitan dengan bidang ini. Karena banyak sekali warisan peradaban Islam dalam bidang kedokteran, baik itu berupa teori-teori pengobatan, lembaga-lembaga, beserta sistemnya.
C.    Warisan-Warisan Peradaban Islam Dalam Bidang Kedokteran
Era kejayaan Islam, kegiatan kedokteran semakin maju pesat. Dokter-dokter Islam sangat berjasa dengan kontribusinya pada dunia ilmu kedokteran. Hal ini dapat dilihat melalui penemuan-penemuan mereka dalam menganilisis dan menemukan penyakit beserta obat penawarnya, cara-cara pengobatan, institusi-intitusi pengobatan maupun pendidikan, serta bangunan-bangunan lembaga tang berdiri kokoh hingga sekarang.  Dibawah ini akan dipaparkan warisan-warisan Islam yang dijelaskan diatas.
Penemuan-penemuan  Islam Dalam Bidang Medis
1)      Urologi, Bakteriologi, Anesthesia, Surgery, Ophthamology, Psikoterapi
Salah satu penemuan Islam yang juga diungkap oleh karya-karya Barat dalam bidang medis adalah Urologi. Urologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang khusus menangani tentang penyakit ginjal dan saluran kemih serta alat reproduksi. Mengenai cabang ilmu ini ditulis dalam kitab Prof. Rabie E Abdel-Halim, bertajuk Paediatric Urology 1000 Years Ago. Dikitab ini disebutkan keberhasilan dunia kedokteran muslim pada seratus tahun seribu tahun silam dalm bidang Urologi.
Dalam ilmu Urologi dikaji oleh empat dokter Islam dalam karyanya masing-masing. Kitab keempat dokter tersebut ialah Kitab al-Hawi fi al-Tibb karya al-Razi, Risalah fi Siyasat as-Sibian wa- Tadbirihim, karya Ibnu al-Jazzar, kitab at-Tasrif li-man ‘Ajiza ‘an at-Ta’lif, karya Al-Zahrawi, dan Al-Qanun fi at-TIbb, karya Ibnu Sina. Dalam Urologi ini, mereka membahas dan menganalisis penyakit ginjal dan yang lainnya dengan gejala-gejal yang timbul tentunya. Mereka berhasil mengembangkan warisan-warisan ilmu medis YUnani dan menciptakan penemuan baru.
Cabang-cabang Ilmu kedokteran yang  tidak bias saya jelaskan semuanya dari  ilmuwan Islam, diantaranya Anesthesia, Surgery, Ophthamology, Psikoterapi. Bakteriologi, Ilmu yang mempelajari kehidupan dan klasifikasi bakteri. Dokter Muslim yang banyak memberi perhatian pada bidang ini adalah Al-Razi serta Ibnu Sina. Anesthesia, suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Ibnu Sina tokoh yang memulai mengulirkan ide menggunakan anestesi oral. Ia mengakui opium sebagai peredam rasa sakit yang sangat manjur.
Surgery, Bedah atau pembedahan adalah adalah spesialisasi dalam kedokteran yang mengobati penyakit atau luka dengan operasi manual dan instrumen. Dokter Islam yang berperan dalam bedah adalah Al-Razi dan Abu al-Qasim Khalaf Ibn Abbas Al-Zahrawi. Ophthamology, cabang kedokteran yang berhubungan dengan penyakit dan bedah syaraf mata, otak serta pendengaran. Dokter Muslim yang banyak memberi kontribusi pada Ophtamology adalah lbnu Al-Haytham (965-1039 M).
Selain itu, Ammar bin Ali dari Mosul juga ikut mencurahkan kontribusinya. Jasa mereka masih terasa hingga abad 19 M. Psikoterapi, serangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan untuk mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang. Dokter Muslim yang menerapkan psikoterapi adalah Al-Razi serta Ibnu Sina.
2)      Aneka Metode Terapi dalam Medis Islam
Kometerapi, Krometerapi, Hirudoterapi
Kometerapi adalah metode peratan penyakit dengan menggunakan zat kimia untuk membunuh sel penyakit kangker. Perawatan ini berguna untuk menghambat kerja sel. Dalam penggunaan modernnya, istilah ini merujuk kepada obat antineoplastik yang digunakan untuk melawan kangker. Kometerapi pertama kali dikenalkan oleh dokter legendaris muslim, Al-Razi. Al-Razi merupakan dokter pertama yang memperkenalkan penggunaan zat-zat kimia dan obat-obatan dalam penyembuhan. Zat-zat itu meliputi belerang, tembaga, merkuri, garam arsenik, sal ammoniac, gold scoria, ter, aspal dan alcohol.
Krometerapi merupakan metode perawatan penyakit dengan menggunakan warna-warna. Terapi ini merupakan terapi suportif yang dapat mendukung terapi utama. Menurut praktisi krometerapi, penyebab dari beberapa panyakit dapat diketahui dari pengurangan warna-warna tertentu dari system dalam menusia. Terapi ini dikembangkan oleh Ibnu Sina. Ia mampu menggunakan warna sebagai salah satu bagian paling penting dalam mendiagnosa dan perawatan. Seperti yang telah ia ungkapkan dalam kitabnya, The Canon of Medicane, “warna merupakan gejala yang nampak dalam penyakit”.
Hirudoterapi merupakan terapi penyembuhan penyakit dengan menggunakan pacet/lintah sebagai obat untuk tujuan pengobatan. Metode terapi ini juga diperkanalkan oleh Ibnu Sina dalam karya yang sama. Tapi dalam kemajuannya, pengobatan dengan lintah inidiperkenalkan lagi oleh Abdel-Latief pada abad ke-12 M yang kurang lebih menulis bahwa lintah dapat digunakan untuk membersihkan jaringan penyakit setelah operasi pembedahan.
Metode-metode ini banyak disadur dan dikembangkan dalam dunia modern. Hingga istilah dan penyebutannya pun berbeda. Misalnya, kometerepi, di dunia modern bisa digunakan kombinasi sitostika dan disebut regimen kometerapi. Padahal sebelumnya penggunaan kometerapi digunakan satu jenis saja. Kometerapi pertama modern adalah asrsphenamine karya Paul Ehrlich, sebuah Arsenic komplel ditemukan pada tahun1909 dan digunakan untuk merawat sipilis. Dan tentunya masih banyak lagi metode terapi atau cara pengobatan lain dari khaazanah ilmu kedokteran Islam.
Institusi-Institusi dan Sistemnya
1.      Pendidikan
Abad ke-12 dan ke-13 gelombang besar melanda aktivitas kedokteran, ketika para dokter dari seluruh dunia Muslim mengejar karir institusi medis di Damaskus dan Kairo. Karena sudah banyak Rumah Sakit yang didirikan dan memerlukan lebih banyak dokter dalam pengoprasiaanya. Rujukan pertama dalam mendapatkan ilmu kedokteran adalah Institusi pendidikan seperti madrasah (sekolahan).
Di Damaskus abad ke-13, Muhadzadzab al-Din al-Dakhwar membuat sebuah sekolahan dalam rangka pengajaran kedokteran eksklusif. Sekolah tersebut disambut gembira oleh pemimpin otoritas keagamaan kota tersebut. Ada yang mengatakan, sekolah kedokteran pertama yang dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik.
Pendirian Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya mempelajari bidang keagamaan, mulai gencar pada abad ke-14 pada era Usmaniah hingga Sultan Muhammad berkuasa. Madrasah tersebut banyak mencetak yang tidak hanya ulama’, tapi seorang ilmuwan. Dokter-dokter pun banyak terlahir dalam pendidikan ini. Pendidikan era Usmani ini, mempunyai konsep dan metode khusus  dalam mendidik tenaga medis, selain sudah memiliki tabib, yang dikenal spesialis penyakit pada era itu.
Ternyata dalam era Usmani, pendidikan kedokteran tidak hanya dilakukan di gedung sekolahan, tapi juga di sebuah Rumah Sakit yang memang ada khusus tempat didik calon dokter. Bedanya dengan madraah, di RS tidak hanya diajari teori-teori seputar kedokteran, tapi juga praktek medis langsung. Sedangkan Madrasah lebih banyak mempelajari seluk beluk kedokteran secara teoritis.
2.      Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan salah satu prestasi institusional terbesar masyarakat Islam abad pertengahan. Antara abad ke-9 dan ke-10 lima RS dibangun di Baghdad. Rumah sakit paling terkenal adalah RS Adudi yang dibangun di bawah pemerintahan Buyudiyah pada tahun 982. Setelah periode ini jumlah RS meningkat signifikan. Ketika institusi terkenal seperti RS Nuri di Damaskus (abad ke-12), dan RS al-Mansuri di Kairo (abad ke-13) dibangun bersamaan dengan RS lain di Qayrawan, Mekkah, Madinah, dan Rayy.
Institusi-intitusi medis terbuka bagi semua orang yang memerlukan pengobatan atau obat. Tidak memandang gender, ras, kelas, orang miskin atau kaya, agama. Perawatan medis bergerak secara bergilir ke pelosok-pelosok desa dan juga melayani pengobatan para narapidana. System peraturan dan menageman  RS juga telah diterapkan. Dengan adanya pemisahan antara pasien wanita dan laki-laki, jadwal kerja para dokter, terdapat seorang administrator kepala, seorang kepala setaf yang juga memiliki wewenang menjalankan operasi medis.
Beberapa RS tersedia tempat pendidikan, perpustakaan dan juga ruang-ruang khusus operasi atau pembedahan. Regulasi yang telah terorganisasikan secara sistematis, juga didukung dengan sarana-sarana lainnya. Seperti Muhtasib (supervisor pasar) yang merupakan pegawai public, berwenang untuk memberikan perlindungan melawan praktek curang. Manual hisbah (supervise pasar), disusun untuk menjelaskan kewajiban muhtasib.
Dalam RS lebih maju terdapat berbagai fasilitas seperti apa yang telah dijelaskan. Termasuk apotek (toko obat) khusus untuk melayani pembelian obat masyarakat umum. Berbicara mengenai apotek, Islam juga mewarisi apotek-apotek yang dibangun oleh apoteker Islam zaman dulu. Sharif Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk The Valueble contributions of Al-Razi in the History of pharmacy during the middle Ages, mengungkapkan, apotek pertama di dunia berdiri di kota Baghdad pada tahun 754 M. Saat itu Baghdad sudah menjadi Ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah.
Selain itu, peradaban Islam juga merupakan pendiri sekolah farmasi pertama. Dengan berkembangnya ilmu farmasi yang begitu cepat membuat apotek atau toko-toko obat tumbuh berdiri di kota-kota Islam. Hampir di setiap RS besar dilengkapi dengan apotek instalasi farmakologi. Bahkan di era Abbasyiah, para ahli-ahli obat mempunyai apotek sendiri dirumahnya dan menggunakan keahliannya untuk meracik, menyimpan aneka obat-obatan sendiri. Pemerintah Islam juga mendukung pembangunan dibidang farmasi, dengan tujuan adanya selektifikasi atau ketelitian dalam obat.
 Secara bersamaan, praktek sosial medis ini menjadikan kedokteran Islam berada pada satu tingkatan yang tak terprediksikan dalam sejarah yang selanjutnya memberi kontribusi pada perkembangan tradisi medis Timur maupun Barat.
Etika Kedokteran
Dalam praktek pengobatan dan perawatan pada pasien perlu diterapkan etika. Para dokter harus memiliki sikap tersebut dalam menjalankan profesinya itu. Karena itu sangat berpengaruh pada keberhasilannya dalam menyembuhkan pasien. Selain sikap itu khusus untuk menjaga nama baik atau keprofesionalan seorang dokter, sikap-sikap etis dokter juga berkaitan dengan psikologi pasien. Bagaimana seorang dokter mampu menciptakan suasana, menciptakan rasa percaya diri untuk sembuh dan sebagainya.
Profesi dokter yang disandang  seseorang, sangat terhomat di mata pasiennya. Oleh karena itu untuk menjaga kehormatan, nama baik maupun keharmonisan antara dokter dan pasiennya, perlu diterapkan sikap-sikap etis yang diemban para dokter. Berangkat dari situ, tradisi kedoteran para era kejayaan Islam menetapkan peraturan atau kode etik harus diemban oleh para dokter. Hingga era kekhalifahan Usmani peraturan berjalan sangat ketat. Para dokter muslim diwajibkan memegang teguh etika kedokteran dalam mengobati pasiennya.
Akdeniz (sari) N mengatakan dalam karyanya, Osmanlilarda Hekim ve Hekimlik Ahlaki (Dokter Ottoman dan Etika Kedokteran), “setiap dokter harus mematuhi etika kedokteran dalam setiap tindakannya”. Menurut is secara garis besar ada empat hal yang harus dipegang teguh oleh para dokter di era kekhalifahan Turki Usmani, yaitu kesederhanaan/kesopanan, kepuasan,harapan dan kesetiaan. Akdeniz juga berpendapat berdasarkan catatan para tokoh di zaman Turki Usmani, etika kedokteran mengatur dokter saat berinteraksi dengan pasiennya.
Nilai kesopanan dalam kutipan Akdeniz, tercermin dari sikap seorang dokter bijak abad 16 M zaman Turki Usmani yang bernama Nidai. Nidai menasehati pasiennya ketika memuji dirinya setelah berhasil menyembuhkan, bahwa Allah-lah yang sebenarnya menyembuhkan. Nilai kesetiaan disarankan dokter terkemuka era Turki, Vesim Abbas bahwa dokter harus setia dengan pasien dalam pengobatannya walaupun pasien bertindak tidak baik.
Dalam nilai kepuasan ia juga menuturkan bahwa seorang dokter harus merasa puas terhadap keberhasilannya mengobati dan menyembuhkan pasien tanpa ambisi mendapatkan uang. Begitu juga rasa optimisme, seorang dokter tidak boleh menyebabkan pasiennya mengalami keputusasaan. Seperti yang diajarkan dokter abad 15 M, Ibnu Shareef, dokter harus mengembangkan dan menumbuhkan rasa optimisme para pasiennya. Bahkan tidak boleh memberitahukan terkait kematiannya.
Tapi dalam karyanya, “Tip Deontolojisi” Prof. Nil tampaknya menunjukkan kesayanga. Menurut Prof. Nil dizan modern ini, telah terjadi perubahan yang begitu besar. Akibat pesatnya perkembangan pengetahuan dan teknologi medis. Akibatnya nilai-niai moral yang dipegang teguh dokter mulai terkikis dan tergantikan dengan nilai-nilai baru. Berbeda dengan ungkapan Beauchamp LT dalamkarya Childress FJ: Principless of Biomedical Ethics, pada abad ke-20 M, kemajuan besar telah dicapai dibidang studi etika medis. Etika medis saat ini terkonsentrasi pada pemecahan pilihan moral sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan peraturannya.
BAB III
AL-Razi dan Ibnu Shina; Analisis Pemikiran & Komparasi antara Keduanya
Menelusuri kembali kelahiran dan perkembangan ilmu kedokteran Islam, tidak mungkin kita lewatkan para tokoh yang sangat berperan dalam meletakan karya dan ilmunya, khususnya dalam bidang kedokteran. Al-Razi dan Ibnu Sina adalah tokoh penting yang karya-karyanya paling berpegaruh  di dunia. Para tokoh dan dokter di dunia tidak melewatkan literatur dari keduanya sebagai acuan dasar dalam keilmuan.
Sebenarnya ada banyak dokter Islam lainnya yang tidak kalah penting dari karya dan penemuannya dalam bidang medis. Dengan kedua tokoh tersebut, penulis tidak hanya menunjukkan karya dan kontribusinya yang di kenal dunia. Tapi lebih melihat perbedaan titik poin atau kefokusan penelitian keilmuan medis antara keduanya.
A.    AL-RAZI
Dunia keilmuan, khususnya kedokteran modern, harus mengakui peran dan gagasan tokoh Islam yang satu ini. Selain seperti yang kita kenal, Ibnu Shina yang merupakan perintis awal Ilmu kedokteran. Dia adalah Muhammad bin Zakaria Al-Razi, atau lebih dikenal dengan nama Al-Razi. Menempati bidang ini pada usia yang dapat dibilang sudah tidak muda lagi.
Ia lahir di Rayy, dekat Teheran, Iran, pada tahun 846 M. (w. dikota yang sama pada tahun 925 M). Al-Razi yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad Zakaria al-Razi sebagai seorang pribadi atau pemikir, dia sangat disegani dan dihormati kalangan sarjana barat.  Seperti A.J. Aberry, yang menulis pengantar dalam buku Al-Razi, The Spiritual Physic of Rhazes (penyembuhan rohani). Walaupun sudah menginjak usia tua, ketekunannya dalam bidang kedokeran menghasilkan karya-karya sangat monumental. Humayun bin Ishaq adalah gurunya di Baghdad.
Dengan karya-karya yang dihasilkan dalam bidang kedokteran, pengabdian dan kejeniusan al-Razi diakui oleh Barat. Banyak ilmuan Barat menyebutnya sebagai pionir terbesar dunia Islam dibidang kedokteran. “Razhes merupakan tabib terbesar dunia Islam, dan satu yang terbesar sepanjang sejarah”, jelas Max Mayerhof. Sementara sejarawan barat terkenal, George Sarnton, mengomentari al-Razi , “AL-Razi dari Persia, dia juga kimiawan dan fisikawan. Dia bisa dinyatakan salah seorang salah seorang perintis latrokimia zaman renaisans,,,maju dibidang teori, dia memadukan pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan Hippokratis”.
Dalam karyanya, Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis) Ia menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain; kesehatan publik, pengobatan preventif, dan perawatan penyakit khusus. Bukunya yang lain berjudul 'Al-Murshid'. Dalam buku itu, Al-Razi mengupas tentang pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah 'Al-Hawi'. Buku yang terdiri dari 22 volume itu menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan cacar dan cacar air dalam Kitab fil al-Jadari wal-Hasba yang merupakan catatan pertama tentang metode diagnosis dan perawatan atas dua penyakit dan gejal-gejalanya.
B.     IBNU SINA
Dunia Islam memanggilnya Ibnu Sina, tapi kalangan Barat menyebutnya dengan panggilan Avicenna. Ia merupakan seorang ilmuan, filsuf dan dokter pada abad ke-10. Selain itu dia juga dikenal dengan penulis yang produktif. Dan sebagian banyak tulisannya berisi tentang filsafat dan pengobatan. Karya-karyanya membanjiri literatur modern dan mengilhami karya-karya pemikir barat. Abu Ali Al-Hussain bin Abdullah bin Sina lahir di Afshana, dekat kota Bukhara, Uzbeskiztan pada tahun 981 M. Kecerdasannya ditunjukkan pada usia 17 tahun, dengan tingkat kejeniusan yang sangat tinggi dia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada pada saat itu dan melebihi siapun juga. Karena kecerdasannya itu dia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi.
Pengaruh pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Berbicara tentang karya-karyanya, tulisannya mencapai 250 karya. Baik dalam bentuk risalah maupun buku. Karyanya bayak dijadikan rujukan dalam bidang kedokteran oleh banyak kalangan pemikir. Diantaranya Qanun fi Thib, dalam buku ini berisi tentang bagaimana cara penyembuhan dan obat-obatan. Dalam dunia Barat kitab ini diterjemahkan dengan nama The Canon of Madicine. Dan ada pula yang menyebutnya Ensiklopedia pengobatan.  Asy-Syifa, dalam buku ini berisi menganai berbagai jenis penyakit, obatnya dan sekaligus cara pengobatannya berkaitan dengan penyakit bersangkutan.
C.    Analisis & Komparasi Metode Dasar antara Al-Razi dan Ibnu Sina Dalam Ilmu Kedokteran
Sebelum membandingkan kedua pemikiran tokoh tersebut, perlu dijelaskan bagaimana landasan pengobatan menentukan adanya gejala penyakit sehingga bidang medis menjadi sebuah ilmu yang terstruktur. Yang nantinya menjadi dasar pemikiran kedua tokoh tersebut. Kembali pada Abad kesembilan atau tepatnya pada akhir abad kesembilan, tradisi kedokteran Islam berkembang pesat. Hal itu ditandai dengan terintegrasinya sistem patologi[ jenaka (humoral) dari Galen dalam kedokteran Islam. Patologi Humoral didasarkan pada empat gagasan humor (darah, lendir, empedu biru, dan empedu hitam) dan kaitannya dengan empat elemen (udara, air, api dan tanah), juga pada empat kualitas (panas, basah, dingin, kering).
Keseimbangan humor dan kualitas ini menentukan kesehatan, karena itu, ketidak seimbangan dianggap sebagai sebab timbulnya penyakit. Inilah titik sebab kenapa perawatan dan pengobatan itu dilakukan, agar dapat membangun atau memelihara kembali keseimbangan kondisi tubuh yang kacau (sakit). Artinya internal tubuh didapat dalam keadaan baik sebagaimana fungsinya dan tentunya harus didukung kondisi atau cuaca lingkungan yang kondisif. Melalui penggunaan jenis-jenis makanan, obat-obat tertentu dan melalui pengeluaran darah kotor serta pencahar (obat cuci perut).
Sistem yang menjelaskan ilmu kedokteran ini, telah didasari dengan tingkat argumentasi logis tertentu. Didukung dengan observasi medis untuk menentukan adanya penyakit yang hinggap dan memberikan penawarnya (obat). Maka dari itu diskursus teoritis sangat ditekankan pada observasi klinis, dan pertimbangan teoritis memainkan  peran utama dalam strukturisasi dan organisasi pengetahuan medis. Artinya, penelitian atau pengamatan medis tidak hanya bergerak dalam ranah teori atau wacana. Tapi juga harus didukung pengamatan  empiris (klinis).
Kalau kedua dasar dalam membentuk sebuah ilmu pengetahuan medis tersebut dapat dilakukan dengan dengan seimbang. Maka kegiatan keilmuan akan menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat menjadi disiplin ilmu yang dapat diaplikasikan atau diamalkan. Hal itulah yang dikembangkan ilmu kedokteran Islam dengan sistemisasi dan rasionalisasi. Dimana yang pertama kali dilakukan adalah usaha untuk mengorganisir bidang luas ilmu kedokteran dan semua cabangnya menjadi satu struktur komprehensif dan logis.
Tapi sejarah mengatakan, dalam keilmuan medis ada yang fokus pada pengkajian atau pengamatan klinis dalam membangun keilmuannya. Dengan menekankan pada kedokteran klinis atau kedokteran kasus dalam prosedur perawatannya. Representasi yang cukup mewakili dalam penggunaan metode ini adalah Al-Razi. Dalam tulisan-tulisannya dapat dilihat bagaimana al-Razi mengungkapkan kritikan terhadap teoritis atas ilmu kedokteran yang diwarisinya. Dimana dia memfokuskan pada metode dan praktek.
Dalam karyanya yang lain, Al-Razi memberi tekanan lebih besar pada diagnosis dan terapi observasional daripada diagnosis teoritis atas sakit dan perawatannya. Metodenya ini dibuktikan dalam karyanya yang berjudul  Kitab fi al-Jadari wal-Hasba (buku tentang cacar dan cacar air). Ketidak sepakatannya dengan metode teoritis semakin jelas jika dilihat dari kitab terbesarnya, al-Hawi fi al-Tibb. Karena kitab ini sudah jelas tidak diatur menurut paradigma teoritis formal. Didalamnya berisi tentang ensiklopedi kedokteran klinis hasil observasi al-Razi sendiri.
 Dalam keilmuan medisnya, baik dari karya kitab, risalah-risalah maupun metode pengobatan , Al-Razi menggunakan klasifikasi ilmu kedoktran terapis, bukan teoritis. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dasar perawatannya mengandalkan hasil-hasil eksperimentasi. Seperti yang dikatakan John L.E. “Al-Razi tidak melakukan perawatan berdasarkan kesimpulan logis; namun ia melakukan apa yang sering mampu mengendalikan ekperimentasi”. Dan terakhir, secara logis penulis mempunyai kesimpulkan sementara bahwa al-Razi menolak metode teoritis (logis), kecuali sesuai, setelah dilakukan ekperimentasi (pengamatan empiris).
Masih membahas metode dasar keilmuan medis (kedokteran), Ibnu Sina mempunyai metode yang berbeda dari al-Razi dalam melakukan kajian keilmuan medis. Ia lebih memfokuskan pada kajian teoritis, dan melakukan sistematisasi ilmu kedokteran sebagai sebuah disiplin ilmu. Oleh karena itu ia terkenal sebagai bapak kedokteran Islam, bahkan dunia. dalam perjalanan intelektual Ibnu Sina, dalam hal ini bidang medis, ia melakukan kajian ulang terhadap warisan-warisan karya medis.
Hal itu dimenivestasikan dalam karya monumentalnya, al-Qanun fil al-Tibb (kanon kedokteran). Magnum opusnya al-Qanun ditulis dengan maksud membuat karya kanonis definitif mengenai kedokteran, yang sangat komprehensif sekaligus teoritis. Semua refleksi teoritis dan sistematis atas karya-karya sebelumnya tercover dalam buku ini. Berawal dari anatomi, kemudia fisiologi, patologi dan akhirnya terapi. Walaupun dia juga melakukan observasi, kegiatannya ini terbilang lemah atau tidak fokus dilakukan.
Corak teoritis dalam karya kedokterannya, bisa dibilang terpengaruh dengan pemikirannya dalam bidang filsafat yang tak lepas dari pengaruh Aristoteles. Dimana ia lebih menekankan pada pendekatan logis sistematis. Sistem ilmu kedoteran yang disusun olehnya, menghasilkan koherensi dari aplikasi kontinyu dengan memegang prinsip logis dan teoritis. Kekhasan karya-karya Ibnu Sina dapat merubah tradisi ilmu kedokteran Islam yang mengutamakan praktek dalam pengobatan. Yang tidak melihat relevansinya terhadap kajian teoritis.
Jika dilhat lagi keidealan ilmu pengetahuan yang terungkap dalam paragraf-paragraf pertama, kedua pemikiran antara al-Razi dan Ibnu Sina dapat digabungkan menjadi disiplin Ilmu kedokteran yang kuat. Walaupun Ibnu Sina mendapat penghargaan atas disiplin Ilmu kedokteran, namun ia lemah dalam pengamatan empiris. Tapi tidak lantas dapat disimpulkan keduanya menolak pendekatan teoritis atau observatif. Hanya saja titik perhatiannya terfokus salah satu metode yaitu antara obserfatif dan teoritis logis.
Al-Razi tidak menolak kesimpulan logis dalam ilmu medis, tapi menerima dengan syarat melakukan ekperimentasi lebih dulu. Sedangkan Ibnu Sina tidak juga menolak metode observatif atau klinis, bahkan dia melakukannya. Tapi hanya saja, pusat perhatiannya lebih pada logis teoritis. Pemikiran kedua tokoh kedokteran tersebut mempunyai kekhasan tersendiri. Oleh karena itu metode keduanya dapat memberi masukan satu sama lain. Sebagai contoh, pengamatan medis secara Al-lRazi sebagai dasar perawatannya dapat diperkuat dengan diskursus teoritis logia ala Ibnu Sina.

BAB IV
Penutup
Dari penjelasan yang panjang lebar di atas, mengenai tema Ilmu Kedokteran dalam Islam dapat diambil kesimpulan bahwa Khazanah Pengetahuan Islam dalam bidang kedokteran sangat kaya dan luas. Hal itu dapat dilihat dari karya-karya para tokoh kedokteran Islam. Saksi sejarah yang lain juga terlihat pada bangunan-bangunan Institusi kedokteran atau rumah sakit, apotek dan institusi yang lain.
Wearisan-warisan Islam dalam bidang kedokteran tersebut tidak hanya menjadi kenangan masa lampau. Tapi lewat karya dokter-dokter Islam, para ilmuwan Timur maupun Barat dapat menguras habis teori-teori atau metode pengobatan dan analisis berbagai penyakit beserta obatnya. Dengan begitu literature-literatur Islam dalam ilmu medis dapat mengilhami banyak ilmuwan atau dokter dunia.
Al-Razi dan Ibnu Sina adalah salah satu dari sekian banyak dokter Islam yang menurut penulis paling berpengaruh dalam keilmuan ini. Dimana dapat dilihat penjelasan di atas, khazanah pemikiran dan kontribusinya sangat luas  dan kaya. Dengan dasar kekhasan pemikiran kedua tokoh tersebut penulis menempatkan bab khusus untuk membanding metode atau titik fokus dalam kegiatan kedokterannya. Dan didapatkan suatu keharmonisan yang saling melengkapi jika metode-metode tersebut dikaji dan diaplikasikan dengan tetap memagang prinsib keseimbangan.
Hal itu sudah terwujud dengan melihat perkembangan kedokteran sekarang. Seperti, cara pengobatan yang sudah maju, penemua penawar (obat) bagi penyakit-penyakit, adanya dokter-dokter profesional dan sebagainya. Dengan ini semua seharusnya Islam tidak hanya berbangga diri tapi dijadikan suatu cambukkan untuk terus semangat, kreeatif dan berkerja keras dalam mengambangkan ilmu pengetahuan.

sumber : http://avicenna.typepad.com/blog/2011/01/perkembangan-ilmu-kedokteran-dalam-peradaban-islam-al-razi-ibnu-sina-dokter-paling-berpengaruh-dalam.html

1 komentar:

  1. Sangat bangga dgn sejarah kedokeran islam...dan sngat bersemangat ingin brusaha mnghidupkn kmbali Tribbun Nabawi...

    Smg ini mnjadi ladang amal bagi kt smw...
    Dan islam kmbali jaya...

    Amin

    BalasHapus